12.29.2008

SCENE BELONG TO ME


Entah seperti apa dan bagaimana menceritakannya kepada kalian, tapi ini merupakan salah satu karya favoritku. Terimakasih buat Annisa atas liputannya. Berikut ini adalah hasil review yang dimuat Radar Jogja (Senin/15/Des/08) mengenai SCENE BELONG TO ME. Sengaja kuposting dengan sedikit perbaikan di sana-sini. He..he....beberapa terasa pas, tapi ada sedikit yang kurang sesuai.

Personal Film, Kepuasan Idealisme
Scene Belong To Me, sebuah film indie yang sangat personal, karena dibuat berdasarkan idealisme sang sutradara. Film ini bercerita tentang kodrat seorang perempuan yang tergabung dalam komunitas punk.
Ya, Scene Belong To Me sendiri diartikan "komunitas milik kami". Menggambarkan sepenggal adegan hidup tentang apa yang dilakukan anak-anak punk dalam sebuah penantian kereta api.
Tiga orang anak punk, yang salah satunya adalah perempuan sedang menunggu kereta untuk mengawali perjalanan mereka ke luar kota. Dari penantian itulah, si perempuan tiba-tiba mengalami sakit perut. Adegan yang ditampilkan adalah keresahan dan kegelisahan perempuan dalam durasi waktu yang cukup lama.
Itulah yang disebut kodrat wanita. Meskipun dia anak punk dengan dandanan sangar, ia tetap membutuhkan pembalut saat haid. “Untuk bisa memperoleh pembalut, dia membutuhkan perjuangan besar karena akan membelinya saja malu,” tutur sang sutradara yang juga merangkap sebagai Penulis naskah, Hernandes Saranela.
Film ini, lanjut dia, sangat bersifat personal. Sebab, membuat film dengan alur cerita "terserah gue" sangat dirasakan dalam pembuatan film berdurasi 10 menit ini. “Aku bebas berekspresi, bebas mengambil scene sesuai angle yang kuinginkan,” lanjutnya.
Memang, bagi orang awam yang melihatnya, film ini akan terasa sangat lama karena menampilkan potongan-potongan adegan menunggu di pinggir rel kereta api tanpa dialog para pemainnya. Dialog hanya terjadi saat kereta yang mereka tunggu sudah datang, sedangkan si perempuan masih berada di sebuah gubug kosong (gerbong kereta barang -Ed) untuk memakai pembalut. Dialognya pun berupa umpatan sarkas yang keluar dari mulut si perempuan karena merasa diburu oleh temannya.
“Kalian saja merasa film ini sangat lama, bagaimana dengan mereka anak punk yang benar-benar mengalami hal itu?” tanya Nandes, sapaan akrab Hernandes usai mempertontonkan filmnya kepada Radar Jogja. Rupanya itulah salah satu hal yang juga ingin disampaikan dalam film ini. Nandes yang juga anak punk (Pemerhati Punk -Ed) ingin menyampaikan kepada orang-orang, bahwa seperti inilah kehidupan anak punk. Mereka yang sudah dicap dengan stigma negatif oleh masyarakat sebenarnya seringkali mengalami hal-hal yang luar biasa membosankan saat menunggu sesuatu.
“Mereka tuh menunggu ya hanya menunggu, nongkrong ya nongkrong, nggak berarti melakukan hal-hal negatif seperti free sex atau pesta narkoba,” imbuh Hernandes.
Inilah kenapa film tersebut disebut film personal. Pembuatannya yang jauh dari teori pembuatan film komersial menjadi kepuasan tersendiri bagi sang sutradara. Karena jika hanya menontonnya saja, bakal muncul sedikit pertanyaan, "Maksudnya gimana?”. Jadi untuk bisa memahaminya, perlu sedikit bantuan sang sutradara untuk bicara.
Selain itu, masih banyak unsur menarik yang bisa dikupas dari film ini. Salah satunya adalah solidaritas. Dikatakan demikian karena film ini diperuntukkan bagi 11 anak punk (11 Undergrounder -Ed) yang meninggal dalam konser musik underground di Bandung beberapa waktu lalu. Nandes mengatakan, saat ini massa punk (Massa Underground -Ed) di Bandung sudah mati (memprihatinkan, terlebih setelah insiden “Sabtu Kelabu” itu -Ed), karena tak boleh ada lagi konser underground di sana.
Ini juga yang ingin digambarkan Hernandes mengenai budaya punk yang tak pernah bergeser. Dalam adegan pembuangan bungkus pembalut, di sana terdapat sebuah poster artis sinetron Marshanda yang sudah terbuang. Disinilah ingin dikatakan, bahwa budaya pop selalu bergeser oleh zaman, karena ikon bintang pop sekarang bukan Marshanda lagi, tetapi Cinta Laura. Sedangkan dalam dunia punk, dari dulu hingga sekarang, mereka tetap suka dengan band underground (band Punk -Ed) Sex Pistol. (cw7/Radar Jogja/Senin/15/Des/08)

Terilhami Film Berdurasi 540 Menit
Film pendek yang terilhami oleh film indie (Indie? i didn’t say that! -Ed) berdurasi 540 menit atau sekitar 8 jam berjudul Death in The Land of Enchantos garapan sutradara Lav Diaz dari Filipina ini memiliki cerita unik dalam proses pembuatannya.
Ide dadakan muncul pada suatu subuh. Nandes ingin mengangkat sisi lain kehidupan komunitas punk yang sudah terlanjur jelek di mata masyarakat. Hanya berbekal peralatan teknis sebuah kamera handycam, film ini pun dibuat dengan waktu satu hari.
“Saat ide muncul, sinopsis langsung dibuat, kita langsung prepare untuk shooting,” tutur mahasiswa ISI ini. Dirinya langsung mengeluarkan kostum-kostum punk miliknya untuk digunakan sebagai wardrobe para pemain.
Shooting dilakukan hanya sepanjang siang. Sebelumnya, Gienz, cewek yang berperan sebagai salah satu anak punk sempat kesulitan memotong rambut panjangnya menjadi rambut gaya punk. Salon-salon besar yang didatanginya tak mau memotong rambut dengan model sesuai permintaannya, karena menurut kru salon tersebut, mereka tidak bisa memotong rambut sembarangan. Hingga saat ini, yang dimaksud dengan sembarangan juga belum dimengerti benar oleh para kru film ini. “Akhirnya kita potong rambut Gienz di tukang cukur biasa,” ujar Nandes.
Di lokasi shooting yang mengambil setting tempat di bawah jalan layang daerah Lempuyangan Jogja, berbagai hal menarik turut mewarnai proses shooting. Di antaranya pandangan aneh orang-orang di sekitar lokasi dengan para pemain yang mengenakan kostum lengkap ala punk.
Selain itu, menunggu kereta yang melintas juga cukup memakan waktu lama untuk mendapat komposisi gambar yang bagus. Perlu take berkali-kali untuk adegan ini. Karena sang sutradara ingin memperoleh gambar dengan setting kereta api melintas secara bagus mengisi frame salah satu adegan di film ini (dan ternyata nggak ada, he..he.. -Ed).
Usai proses shooting yang hanya memakan waktu beberapa jam saja, Nandes langsung melakukan editing untuk menyelesaikan film ini. Hasilnya, proses pembuatan film ini selesai pada subuh berikutnya.
Yang membuat senang sutradara, dalam proses pembuatannya, para pemain tak banyak omong, karena mempecayakan sepenuhnya kepada sutradara. “Padahal mereka nggak dibayar, tapi mereka sangat menghargai pikiran dan kerja sutradara,” tambah Nandes yang telah berkecimpung bertahun-tahun (nggak sampai segitunya deh! -Ed) di bidang sinematografi.
“Inilah yang disebut film pendek. Bukan film durasi panjang yang dipendek-pendekkan, tetapi film yang ceritanya memang benar-benar pendek karena hanya kisah beberapa jam saja di tempat itu” lanjut Nandes. Dikatakan, meski berdurasi 10 menit, orang yang melihat akan merasa lama karena adegan menunggu disuguhkan cukup lama.
“Letak kepuasanku adalah jika orang yang melihat semakin bosan, aku semakin seneng. Karena berarti filmku berhasil dalam kapasitasnya sebagai film dokumenter (Personal Film/Vocal Movie -Ed) yang sangat personal, lho...!" (cw7(cw7/Radar Jogja/Senin/15/Des/08)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar